Aku berjalan di sebuah gang kecil, memandang perumahan serta gedung-gedung yang megah. Membayangkan apakah aku bisa memiliki itu semua? Dan membayangkan punya rumah yang indah dengan kegembiraan, kesenangan, tanpa harus ada kesedihan, tanpa harus ada kelaparan atau bahkan kemelaratan.
Saatku lelah berjalan aku duduk di sebuah bangku taman, di bawah pohon yang rindang serta kesejukan angin yang menghilangkan rasa lelah, itu semua membuatku tenang serasa damai dihati. Tapi kemudian aku teringat ketika sebuah buldoser menghancurkan rumah kami, menghancurkan barang-barang kami, sehingga kami tidak mempunyai apa-apa lagi. Aku menangis meratapi nasib kami, mengapa di dunia ini harus ada kekejaman, mengapa di dunia ini harus ada kejahatan, dan mengapa di dunia ini harus ada orang yang tanpa belas kasihan menghancurkan rumah kami.
Aku kemudian bercerita kepada angin yang berhembus ke arah barat. Dua minggu yang lalu seorang laki-laki mendatangi kampung kami. Dia berkata, “Bapak-bapak, ibu-ibu sekalian, kami dari perusahaan swasta akan meratakan tempat ini, dan dimohon kepada bapak-bapak, ibi-ibu sekalian agar membawa barang-barang kalian”. Tanpa mengerti apa yang baru saja dia bicarakan, dan sambil kebingungan dan merasa heran, warga kampung menatap wajah lelaki yang sudah agak tua dan berjenggot putih itu. Kemudian lelaki itu melanjutkan pembicaraannya, “Tanah yang kalian bangun rumah disini bukan milik kalian, melainkan milik sebuah perusahaan swasta yang akan mendirikan gedung disini. Jadi kalian tidak berhak atas tanah ini!”. Warga kampung kelihatan tidak senang bahkan kecewa. “Apa maksud anda bahwa tanah ini bukan milik kami?”. Lelaki tua itupun menjelaskan panjang lebar tentang masalah itu kepada warga kampung. Tetapi warga kampung kelihatan tidak senang menerima keputusan itu. “Ada kesalahan pada akte tanah, dan kami dari perusahaan swasta memiliki akte tanah yang asli atas kepemilikan tanah ini”, kata lelaki itu. Warga tidak bisa menerima keputusan itu dan mereka ingin terus tinggal di rumah merea itu. Tapi keputusan tidak dapat ditentang, dan warga harus meninggalkan rumah mereka.
“Kami mohon pak, tolong jangan usir kami dari rumah kami ini, nanti kami harus tinggal dimana pak?, tolonglah kami pak jangan usir kami”, kata seorang ibu setengah baya ketika lelaki itu berkata bahwa mereka harus meninggalkan rumah/tanah itu dalam waktu satu minggu. Hampir semua warga memohon agar lelaki itu tidak mengusir mereka. Tapi pada kenyataannya mereka harus meninggalkan rumah mereka. Karena itu, dengan terpaksa mereka harus meninggalkan rumah mereka. Mereka segera membereskan barang-barang mereka tetapi ada juga warga yang tidak mau meninggalkan rumah mereka itu dan tidak membereskan barang-barangnya. Sampai pada suatu saat tepatnya satu minggu setelah kejadian itu beberapa buah buldoser datang dan menghancurkan rumah mereka. Warga yang tidak membereskan barang-barang mereka segera membawanya tapi beberapa barang mereka yang masih tertinggal didalam rumah mereka hancur karena buldoser itu telah menghancurkan rumah mereka. Mereka menangis, berteriak, memohon agar mereka jangan digusur. Tetapi apalah daya seorang kecil. Beberapa saat setelah itu, tanah tempat mereka membangun rumah dulu, sekarang sudah rata.
Runtuhan rumah serta barang yang rusak berserakan di atas tanah itu. Kemudian pegawai dari perusahaan swasta itu dan beberapa buah buldoser itu pergi meninggalkan mereka. Sebagian warga pulang ke kampung halaman mereka tetapi ada juga sebagian warga yang tidak bisa pulang ke kampung halaman mereka karena mereka tidak mempunyai cukup uang untuk pulang ke kampung halaman mereka. Maka dengan sangat terpaksa mereka tinggal di halte-halte bus. Oh ya... ada yang aku lupa, sebelum itu lelaki dari perusahaan swasta itu memberi sejumlah uang tapi uang itu tidak mencukupi, maka dengan terpaksa mereka tinggal di halte-halte bus, seperti yang mereka alami sekarang.
Sehelai daun terbang mengenai mukaku, aku terkejut. Seakan terbangun dari mimpi buruk yang selalu membayangiku. INIKAH JALAN HIDUPKU...???
No comments:
Post a Comment